TANTANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI DUNIA MODERN
ANTARA PELUANG DAN TANTANGAN
I.
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan
kunci kemajuan. Semakin baik kualitas pendidikan suatu bangsa atau masyarakat,
maka akan semakin baik pula kualitas kehidupan bangsa / masyarakat tersebut.
Fazlurrahman, sebagaimana dikutip oleh Muhaimin menyatakan “Setiap reformasi
dan pembaharuan dalam Islam harus dimulai dengan pendidikan”. Ungkapan senada
dikemukakan oleh Khursid Ahmad yang menyatakan bahwa : “All of the problem that
confront the Muslim world today the educational problem is the problem most
challenge”, artinya dari sekian banyak permasalahan yang merupakan tantangan
terhadap dunia Islam dewasa ini, maka masalah pendidikan merupakan masalah yang
paling menantang. Maka masa depan dunia Islam tergantung kepada cara dunia
Islam menjawab dan memecahkan tantangan ini.
Mengingat pendidikan
merupakan kebutuhan penting bagi setiap manusia, masyarakat, maupun bangsa,
maka pendidikan harus selalu ditumbuhkembangkan secara sistematis dan visioner.
Berangkat dari kerangka ini, maka upaya pendidikan yang dilakukan suatu bangsa
selalu memiliki hubungan yang signifikan dengan rekayasa bangsa tersebut di
masa mendatang, sebab pendidikan selalu dihadapkan pada perubahan, baik
perubahan zaman maupun perubahan masyarakat. Oleh karena itu, mau tidak mau
pendidikan harus didesain mengikuti irama perubahan tersebut. Pendidikan Islam
dihadapkan pada tantangan kehidupan manusia modern. Dengan demikian, pendidikan
Islam harus diarahkan pada kebutuhan perubahan masyarakat modern. Untuk itu,
pendidikan Islam perlu didesain untuk menjawab tantangan perubahan zaman tersebut,
lembaga-lembaga dan organisasinya, serta mengkonstruksi-nya agar dapat relevan
dengan perubahan masyarakat.
Secara historis,
gagasan pembaruan atau modernisasi pendidikan Islam di Indonesia, diawali
dengan munculnya lembaga-lembaga pendidikan yang mengadopsi sistem pendidikan
kolonial Belanda dan kehadiran organsiasi-organisasi modernis Islam seperti Jami’at al-Khair,
al-Irsyad, Muhammadiyah dan lain-lain. Hal ini mengandung pengertian bahwa
titik tolak modernisasi pendidikan Islam di Indonesia adalah sistem dan
kelembagaan pendidikan modern (Belanda), bukan sistem dan lembaga pendidikan
Islam tradisional. Namun pada akhirnya kedua model pendidikan Islam tersebut
mengalami perubahan dan secara bersama terus saling melengkapi seiring dengan
perkembangan.
Pendidikan Islam
pada masa kini dihadapkan kepada tantangan yang jauh lebih berat dari tantantan
yang dihadapi pada masa permulaan penyebaran Islam. Tantangan tersebut berupa
timbulnya aspirasi dan idealitas ummat Islam yang serba kompleks dan multi
dimensi setelah mengalami pergeseran nilai akibat kehidupan dan peradaban yang
serba modern. Makalah ini berisi paparan dan idealitas penulis tentang
formulasi pendidikan Islam dalam kehidupan modern dengan mengkaji secara
komprehensif dimensi karakteristik, tantangan dan peluang modernisasi serta
implikasinya terhadap Pendidikan Islam.
II.
PEMBAHASAN
A.
Karakteristik
Kehidupan Modern
Sebelum membahas tentang
karakteristik, penulis terlebih dahulu memaparkan tentang definisi istilah “modern”.
Hal ini diperlukan agar memiliki pemahaman dan persepsi yang sama tentang tema
yang dibahas. Modernitas berasal dari perkataan “modern” yang berarti segala
sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan masa kini. Lawan dari modern adalah
kuno, yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan masa lampau. Jadi, modernitas
adalah suatu pandangan dan sikap hidup dalam menghadapi kehidupan masa kini.
Kata “modern”
tidaklah muncul sekaligus untuk seluruh atau berbagai bidang kehidupan. Dalam
bidang seni kata modern digunakan untuk membadakan sifat seni lukis dan seni
pahat yang eksperimental dan dinamis pada abad kedua puluh dengan seni lukis
dan seni pahat masa sebelumnya. Di dalam filsafat kata modern itu digunakan
untuk menyebutkan periode filsafat setelah abad pertengahan (pertengahan abad
ketujuh belas).
Pandangan lainnya
menyatakan, bahwa “modern” berarti baru, kekinian, akhir, up-todate, atau
semacamnya. Istilah ini berkaitan juga dengan karakteristik. Oleh karena itu,
istilah modern bisa diterapkan untuk manusia dan juga untuk lainnya. Predikat modern
diberikan terhadap perilaku, model pakaian, musik, hasil teknologi, ataupun
pada pemikiran seseorang.
Istilah modern
menjadi “modernisasi” memiliki arti tersendiri yaitu suatu proses untuk
menjadikan sesuatu itu modern. Tolhah Hasan memberikan definisi modernisasi
sebagai suatu proses transformasi masyarakat dalam berbagai aspeknya termasuk
di dalamnya sektor ekonomi, politik, sosial dan pendidikan. Nurcholis Madjid,
sebagaimana dinyatakan oleh Abdullah Idi Toto Sutarto, mendefinisikan “modernisasi
sebagai rasionalisasi untuk memperoleh daya guna yang maksimal dalam berfikir
dan bekerja demi kebahagiaan ummat”.
Istilah modern menjadi
“modernisasi” memiliki arti tersendiri yaitu suatu proses untuk menjadikan
sesuatu itu modern. Tolhah Hasan memberikan definisi modernisasi sebagai suatu
proses transformasi masyarakat dalam berbagaia aspeknya termasuk di dalamnya
sektor ekonomi, politik, sosial dan pendidikan. Nurcholis Madjid,
mendefinisikan “modernisasi sebagai rasionalisasi untuk memperoleh daya guna
yang maksimal dalam berfikir dan bekerja demi kebahagiaan ummat”.
Istilah modern juga
memiliki arti tersendiri bila dikatakan menjadi “modernisme”. Eugene Lunn
sebagaimana yang dikutip oleh Alex Callinicos mendefinisikan modernisasi dengan
pemahaman sebagai berikut :
1.
Modernisasi
diartikan dengan kesadaran diri yang estetis atau refleksivitas diri.
2.
Modernisasi
adalah sesuatu yang simultan.
3.
Modern
artinya sesuatu yang paradox, ambiguitas dan ketidaktentuan.
4.
Modernisasi
adalah “dehumanisasi dan kematian subjek”.
Bila dikaitkan
dengan peradaban, maka modern identik dengan barat, karena peradaban modern
terbentuk setelah bangsa-bangsa Eropa melampaui masa abad pertengahan yang
dikenal dengan istilah “Renaissanse” yang artinya kelahiran kembali. Banyak
pemikir terkenal seperti Gabriel Almond, James Coleman, Karl Deutsch, Mc. T.
Kahin, kelompok pluralis dan liberalis, beranggapan bahwa modernisasi identik
dengan westernisasi, sekularisasi, demokratisasi, dan liberalisasi. Pengertian
tersebut menghasilkan sebuah hipotesis bahwa religiousitas (sikap keberagaman)
akan bertentangan dengan modernisasi. Dan mereka mengungkapkan bahwa
bangsa-bangsa yang dianggap modern adalah bagian dari tradisi Eropa (termasuk
Amerika Serikat).
Beberapa pandangan
tentang term “modern” sebagaimana dikemukakan di atas, menunjukkan adanya
sebuah reaksi atau upaya perubahan terhadap situasi dan keadaan yang konstant
dan berkonotasi ketertinggalan. Term “modern” juga dipergunakan untuk
menunjukkan pemikiran, karakter, ideology, seni, politik, dan lainnya yang
bernuansa kekinian atau kontemporer.
Dalam konteks
sosial, secara umum masyarakat modern adalah masyarakat yang proaktif,
individual, dan kompetitif. Masyarakat modern merefresentasikan sebuah gerak
pemisahan diri secara radikal dari sifat statis masyarakat tradisional.
Masyarakat modern berusaha secara sistematis untuk mengontrol dan mengubah
lingkungan fisik mereka, melakukan inovasi dan eksplorasi yang disebarkan
melalui pasar dunia yang terus berkembang, yang pada akhirnya melahirkan sebuah
proses perubahan yang berlangsung secara cepat.
Salah satu ciri
utama kehidupan di masa modern dan masa yang akan datang adalah cepatnya
terjadi perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Banyak paradigma yang
digunakan untuk menata kehidupan, baik kehidupan individual maupun kehidupan
organisasi yang pada waktu yang lalu sudah mapan, kini menjadi ketinggalan zaman.
Jika keadaan sekarang ini disebut modern, lalu apakah kita yang hidup saat ini
dikategorikan sebagai manusia modern? Menurut Alex Inkeles, guru besar Sosiologi
Universitas Harvard, jawabannya bisa ya, bisa juga tidak. Kita memenuhi satu
ciri khas dari keterlibatan kita dalam urbanisasi.
Ciri luar itu
berkaitan dengan keterlibatan kita dalam urbanisasi, pendidikan, politikus,
industrialisasi, dan komunikasi massa. Juga ditandai dengan terlepasnya
individu-individu dari jaringan-jaringan keluarga dekat, orang semakin
impersonal dalam berhubungan dengan orang lain. Sebagai manusia modern,
seseorang harus memenuhi ciri dalam yang berkaitan dengan semangat, cara
merasa, cara berpikir dan cara bertindak modern.
Menurut Alex Inkeles
paling tidak ada 9 karakter manusia modern, yaitu :
1.
Kesediaannya untuk menerima
pengalaman baru dan keterbukaannya bagi penciptaan baru dan perubahan.
2. Mempunyai
tanggapan untuk menyusun atau memiliki pendapat terhadap aneka persoalan yang
luas serta terhadap pokok-pokok acara yang terbit tidak saja di lingkungannya
yang dekat tetapi juga di luarnya dan tanggapannya kepada lingkungan (pendapat)
adalah lebih demokratis. Atau dengan kata lain
bahwa semakin berpendidikan seseorang dan semakin maju negaranya, semakin
besarlah kesediaan untuk memberikan tanggapan (pendapat) terhadap tantangan
itu.
3. Orang modern tersebut menerima ketentuan waktu, yakni
pembagian waktu yang teratur, artinya orang modern menghargai ketepatan waktu,
teratur menurut waktu dan terinci dalam menyusun urusanurusannya.
4. Manusia modern adalah selalu mengarah kepada
ketertiban dalam perencanaan dan organisasi dan percaya terhadapnya sebagai
suatu cara untuk menangani kehidupan.
5. Adanya kepercayaan bahwa manusia bisa bekerja dalam
tingkat yang nyata untuk menguasai alam lingkungan demi untuk memajukan tujuan
dan sasarannya sendiri daripada sebaliknya, dikuasai sepenuhnya oleh alam lingkungan.
6. Manusia modern lebih yakin bahwa dunia dapat
diperhitungkan. Orang-orang dan lembaga-lembaga dapat dijadikan andalan untuk
memenuhi atau mencukup, kewajiban-kewajiban serta tanggung jawabnya.
7.
Seorang yang lebih modern adalah orang yang lebih sadar akan martabat (dignity)
orang lain dan lebih tegas menunjukkan penghargaannya terhadap mereka
8.
Orang-orang modern (mereka) lebih
yakin kepada ilmu dan teknologi (tetapi tidak terlalu mengkultuskan ilmu dan
teknologi tersebut).
9.
Mereka berfaham kuat tentang keadilan yang merata.
Pendapat Alex
Inkeles di atas, cukup relevan bila masalah itu dianalisis dan dikaitkan dengan
ajaran Islam. Islam memang sangat mencela manusia yang berfikir sempit dan
fanatik buta yang akan menjadikannya terisolasi dari kehidupan yang sangat
kompleks. Islam menghendaki umatnya tidak berfikir, bersikap, dan bertindak
dari hal-hal yang sifatnya tradisional saja tetapi Islam akan membawa manusia
menjadi maju, berfikiran luas, disiplin, dinamis, dan peka terhadap kejadian
dalam kehidupan dirinya, lingkungannya, dan masyarakatnya.
B.
Tantangan,
Peluang, dan Masalah Yang Timbul
Sebagaimana, dikemukakan di atas bahwa para pemikir
barat mempunyai persepsi dan beranggapan bahwa sekularisasi merupakan salah
situ ciri utama modernisasi. Agama dengan segala tradisinya adalah suatu
rintangan untuk kepentingan modernisasi terutama dalam proses perubahan tatanan
politik, ekonomi, dan sosial budaya. Penggusuran tradisi menjadi masalah yang
tidak mungkin dihindari demi tradisi. Michael C. Hudson mengidentifikasi
masalah-masalah yang perlu dikaji oleh para ilmuwan Muslim sebagai berikut :
1.
Ide-ide sekuler dan rasionalis telah
masuk ke dalam masyarakat Muslim, menggantikan orientasi-orientasi keagamaan.
2.
Memudarnya pengaruh tokoh-tokoh Islam
dalam konstalasi politik
3.
Kegagalan para modernis Islam liberal
mengakomodasikan Islam dengan ide-ide modernisasi.
4.
Munculnya sifat atavistik (kembali jauh
ke belakang) gerakan-gerakan politik Islam fundamentalis.
Dilihat dari aspek pendidikan, para ahli pendidikan
Islam telah mengidentiaasi berbagai krisis dan fenomena masyarakat modern di antaranya
adalah :
1.
Krisis nilai-nilai
Krisis nilai berkaitan dengan masalah sikap menilai sesuatu
perbuatan tentang baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, benar dan salah, dan
hal lain yang menyangkut prilaku etis individual dan sosial.
2.
Krisis konsep tentang kesepakatan
arti hidup yang baik
Masyarakat mulai mengubah pandangan tentang cara hidup
bermasyarakat yang baik dalam biding ekonomi, politik, kemasyarakatan, dan
implikasinya terhadap kehidupan individual.
3.
Adanya kesenjangan kreadibilitas
Dalam masyarakat modern, dirasakan adanya erosi kepercayaan
terhadap orang tua, guru, ulama, rumah ibadah, penegak hukum dan lainnya.
Mereka mulai diremehkan orang yang semestinya menaati dan mengikuti
petuah-petuahnya.
4. Kurangnya sikap
idealism dan citra remaja kita tentang peranannya di masa datang
5. Makin membesamya
kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin
6. Makin bergesernya
sikap manusia ke arah pragmatisme yang akan mengarah kepada materialisme dan
individualisme
7.
Makin menyusutnya jumlah ulama
tradisional dan kualitas keilmuan yang dimilikinya.
Victor Franks, salah seorang tokoh psikologi eksistensial terkemuka, mengatakan
bahwa manusia modern mengalami masalah frustrasi eksistensial (Frustrasi dalam
pemenuhan keinginan kepada makna) dan kehampaan eksistensial (merasa kehidupan
tidak memiliki makna) yang semakin meluas. Menurutnya, individu masyarakat modern
dilanda keraguan atas makna kehidupan yang mereka jalani. Hilangya tradisi dan nilai-nilai
sebagai salah satu sumber utama kemunculan frustrasi eksistensial dan kehampaan
eksistensial. Akibat dari hal itu, individu melakukan kompensasi-kompensasi
melalui berbagai aktivitas seperti membenamkan diri dalam pekerjaan, berjudi,
alkoholisme, obat bius,dan seks.
Berbagai tantangan dan
masalah sebagaimana dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa modernisasi
melahirkan berbagai fenomena masyarakat yang kompleks baik dalam bidang
ekonomi, politik, budaya, pendidikan, kemasyarakatan, ideologi, dan lain
sebagainya. Hal ini tentu saja harus kita hadapi dan carikan. solusi yang
bersifat prepentif, antisipatif, dan penanganan secara integral dan konperhensif
dengan mengembalikan kepada inti ajaran Islam yang "kaffah" dan
rahmatan lil `alamin.
Mencermati fenomena
peradaban modern yang dikemukakan di atas, kita harus bersikap arif dalam
merespons fenomena-fenomena tersebut. Dalam arti, jangan melihat peradaban modern
dari sisi unsur negatifnya saja, tetapi perlu juga merespons unsur-unsur
positifnya yang banyak memberikan manfaat dan mempengaruhi kehidupan manusia.
Maka, yang perlu diatur adalah produk peradaban modern jangan sampai memperbudak
manusia atau manusia menghambakan produk tersebut, tetapi manusia harus menjadi
tuan, mengatur, dan memanfaatkan produk peradaban modern tersebut secara
maksimal.
C.
Reformulasi
Pendidikan Islam di Era Modern
Seorang Muslim yang memahami
karakteristik kehidupan modern diharapkan dapat melaksanakan ajaran agamanya
tanpa dihantui rasa cemas, takut, gusar, gelisah atau perasaan bersalah
sehingga tidak memunculkan sikap futidamentalis eksklusif. Modernitas tidak
perlu dihindari karena pada dasarnya tidak bisa dipungkiri bahwa modernisasi
memiliki peluang sekaligus tantangan sebagai berikut
1. Keberhasilan upaya
manusia menaikkan secara relative taraf kemampuan eknomi masyarakat.
2.
Kemudahan memperoleh akses informasi.
Saling keterhubungan antara 3 T (telekomunikasi, komunikasi, dan teknologi)
mempercepat daya jangkau dan daya tembus pengaruh budaya, agama, gaya hidup dan
lainnya kepada siapapun dan dimanapun berada.
3.
Semakin kuatnya kesadaran akan
pluralitas iman dan budaya yang memungkinkan hidup berdampingan dalam
perbedaaan.
Dalam konteks pendidikan Islam, kita
perlu melakukan studi perbandingan bahwa pendidikan tradisional (konsep lama)
sangat menekankan pentingnya penguasaan bahan pelajaran. Menurut konsep ini
rasio ingatanlah yang memegang peranan penting dalam proses belajar di sekolah.
Pendidikan tradisional telah menjadi sistem yang dominan di tingkat pendidikan dasar
dan menengah sejak paruh kedua abak ke-19, dan mewakili puncak
pencarian elektik atas ‘satu sistem terbaik'.
Ciri pendidikan tradisional menurut Vernon
Smith adalah (1) anak-anak biasanya dikirim ke sekolah di dalam wilayah
geografis distrik tertentu, (2) mereka kemudian dimasukkan ke kelas-kelas yang
biasanya dibeda-bedakan berdasarkan umur, (3) anak-anak masuk sekolah di tiap
tingkat menurut berapa usia mereka pada waktu itu, (4) mereka naik kelas setiap
habis satu tahun ajaran), (5) prinsip sekolah otoritarian, anak-anak diharap
menyesuaikan diri dengan tolok ukur perilaku yang sudah ada, (6) guru memikul
tanggung jawab pengajaran, berpegang pada kurikulum yang sudah ditetapkan, (7)
sebagian besar pelajaran diarahkan oleh guru dan berorientasi pada teks, (8)
promosi tergantung pada penilaian guru, (9) kwikulum berpusat pada subjek
pendidik, (10) bahan ajar yang paling umum tertera dalam kurikulum adalah
buku-buku teks. Lebih lanjut menurut Vernon Smith, pendidikan tradisional
didasarkan pada beberapa asumsi yang umumnya diterima orang meski tidak dimoderni
bukti keandalan atau kesahihan, Umpamanya: 1). ada suatu kumpulan pengetahuan dan
keterampilan penting tertentu yang musti dipelajari anak-anak; 2). tempat
terbaik bagi sebagian besar anak untuk mempelajari unsur-unsur ini adalah
sekolah formal, dan 3). cara terbaik supaya anak-anak bisa belajar adalah
mengelompokkan mereka dalam kelas-kelas yang ditetapkan berdasarkan usia
mereka.
Ciri yang dikemukakan Vernon Smith ini
juga dialami oleh pendidikan Islam di Indonesia sampai dekade irti. Misalnya :
Sebagian Pesantren, Madrasah, dan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang lain
masih menganut sistem lama, kurikulum ditetapkan merupakan paket yang harus
diselesaikan, kurikulum dibuat tanpa atau sedikit sekali memperhatikan konteks
atau relevansi dengan kondisi sosial masyarakat bahkan sedikit sekali
memperhatikan dan mengantisipasi perubahan zaman, sistem pembelajaran berorientasi
atau berpusat pada guru. Paradigma pendidikan tradisional bukan merupakan
sesuatu yang salah atau kurang baik, tetapi model pendidikan yang berkembang dan
sesuai dengan zamannya, tentu juga memiliki kelebihan dan kelemahan dalam
memberdayakan manusia, apabila dipandang dari era modern ini.
Konsep pendidikan modern (konsep Baru),
yaitu : pendidikan menyentuh setiap aspek kehidupan pemodern didik, pendidikan
merupakan proses belajar yang terus menerus, pendidikan dipengaruhi oleh
kondisikondisi dan pengalaman, baik di dalam maupun di luar situasi sekolah,
pendidikan dipersyarati oleh kemampuan dan minat pemodern didik, juga tepat
tidaknya situasi belajar dan efektif tidaknya cara mengajar. Melihat
perbandingan kedua tipe di atas, nampak bahwa perubahan terjadi hampir di semua
aspek pembelajaran. Oleh karenanya, reformulasi pendidikan Islam merupakan hal sangat penting. M. An-in Abdullah yang mengajukan
beberapa alternatif formulasi pendidikan Islam yang dapat diterapkan, di
antaranya :
a. Memperkenalkan
kepada para siswa persoalan-persoalan modernitas yang dihadapi tunas Islam saat
ini dan mengajarkan pendekatan keilmuan sosial keagamaan yang saat ini
berkembang
b.
Pembelajaran ilmu-ilmu keislaman tidak
selalu bersifat doktrinal, melainkan disampaikan melalui pendekatan sejarah
dari doktrin-doktrin tersebut sehingga memunculkan tela'ah kritis yang
apresiatif konstruktif terhadap khazanah intelektual klasik sekaligus melatih
merumuskan ulang pokok-pokok rumusan realisasi doktrin agama yang sesuai dengan
tantangan dan tuntutan zaman
c.
Pembelajaran yang bertumpu pada teks
(nash) perlu diimbangi dengan analisa yang mendalam dan cerdas terhadap konteks
dan realitasnya.
d.
Pengajaran tasawuf atau pengembangan
kecerdasan emosional dan spiritual sangat diperlukan dan pelaksanaan,
pendidikan Islam tidak terlalu menekankan pada aspek kognitif siswa
(intelektual)
e.
Pendidikan agama Islam tidak hanya
diarahkan kepada pembentukan "kesalehan individual" tetapi juga
mengembangkan pembentukan "kesalehan sosial".
Pendapat Amin Abdullah di atas mewakili berbagai pandangan pembaruan
pendidikan Islam dapat diimplementasikan pada aspek materi sehingga para
pendidik diharapkan menyusun rencana pembelajaran dengan memperhatikan formula
di atas. Namun demikian tentu saja belum cukup. Reiformulasi pendidikan Islam
harus menyentuh pula aspek. filosofis dan metodologis. Pendidikan Islam perlu
menghadirkan suatu konstruksi wacana pada dataran filosofis, wacana
metodologis, dan juga cara menyampaikan atau mengkomunikasikannya.
Untuk menemukan formulasi yang tepat, kita perlu memperhatikan
persoalan-persoalan umum internal pendidikan Islam yang harus kita kaji secara
filosofis, di antaranya yaitu
a.
Persoalan dikotomi,
b.
Tujuan dan fungsi lembaga pendidikan
Islam,
c.
Persoalan kurikulum atau materi.
Mengenai persoalan dikotomi, Fazlur
Rahman, menawarkan suatu pendekatan yang dapat dilakukan yaitu dengan menerima
pendidikan sekuler modern sebagaimana telah berkembang pada umumnya di dunia
Barat dan mencoba untuk "mengislamkan"nya - yakni mengisinya dengan
konsep-konsep kunci tertentu dari Islam. Pandangan lain dikemukan oleh
A.Syafi'i Ma'arif yang mengatakan bila konsep dualisme dikotomik berhasil
ditumbangkan, maka dalam Jangka panjang sistem
pendidikan Islam juga akan berubah secara keseluruhan, mulai dari tingkat dasar
sampai ke perguruan tinggi. Untuk kasus Indonesia, IAIN misalnya akan lebur
secara integratif dengan perguruan-perguruan tinggi negeri lainnya. Peleburan
bukan dalam bentuk satu atap saja, tetapi lebur berdasarkan rumusan filosofis.
Dengan melihat peta konsep sebagaimana dikemukakan di atas, maka pendapat
Hujair AH. Sangat patut kita fikirkan. Menurutnya ada tiga langkah yang harus
dilakukan untuk memformulasikan kembali pendidikan Islam sebagaimana mestinya,
yaitu :
1.
Lembaga-lembaga pendidikan Islam
perlu mendesain ulang fungsi pendidikannya, dengan memilih apakah :
a. Model pendidikan
yang mengkhususkan diri pada pendidikan keagamaan saja sudah sesuai dengan
perubahan zaman,
b. Model kurikulumnya
sudah integratif antara materi-materi pendidikan umum dan agama,
c. Model pendidikan
sekuler modern dan mengisinya dengan konsep-konsep Islam,
d.
Menolak apapun produk pendidikan
barat,
e. Pendidikan agama
tidak dilaksanakan di sekolah-sekolah tetapi dilaksanakan di luar sekolah.
2.
Pendidikan harus diarahkan pada dua dimensi,
yakni
a.
Dimensi dialektika (horisontal),
pendidikan hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia
dalam hubungannya dengan alam atau lingkungan sosialnya. Manusia harus mampu
mengatasi tantangan dan kendala dunia sekitarnya melalui pengembangan Iptek,
dan
b.
Dimensi ketundukan vertikal,
pendidikan selain menjadi alas untuk memantapkan, memelihara sumber daya alami,
juga menjembatani dalam memahami fenomena dan misteri kehidupan yang abadi
dengan maha pencipta. Berarti pendidikan harus dimoderni dengan pendekatan
hati.
III.
Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, penulis dapat menyimpulkannya sebagai
berikut:
1. Salah satu ciri utama kehidupan di masa modern dan
masa yang akan datang adalah cepatnya terjadi perubahan yang terjadi dalam
kehidupan manusia. Banyak paradigma yang digunakan untuk menata kehidupan, baik
kehidupan individual maupun kehidupan organisasi yang pada waktu yang lalu
sudah mapan, kini menjadi ketinggalan zaman.
2. Dilihat dari aspek pendidikan, para ahli pendidikan.
Islam telah mengidentifikasi berbagai krisis dan fenomena masyarakat modern di
antaranya adalah:
a. Krisis
nilai-nilai.
b. Krisis
konsep tentang, kesepakatan arti hidup yang baik
c. Adanya
kesenjangan kreadibilitas
d. Kurangnya sikap idealis dan citra remaja kita
tentang peranannya di masa datang
e. Makin membesarnya kesenjangan antara orang kaya dan
orang miskin
f. Makin bergesernya sikap manusia ke arah pragmatism
yang akan mengarah kepada materialisme dan individualisme
g. Makin menyusutnya jumlah ulama tradisional dan
kualitas keilmuan yang dimilikinya.
3. Modernisasi
tidak perlu dihindari karena pada dasarnya tidak, bisa dipungkiri bahwa modernisasi
memiliki peluang sekaligus tantangan sebagai berikut :
a. Keberhasilan upaya manusia menaikkan secara relative
taraf kemampuan ekonomi masyarakat.
b. Kemudahan
memperoleh akses informasi. Saling keterhubungan antara 3 T (telekomunikasi,
komunikasi, dan teknologi) mempercepat daya jangkau dan daya tembus pengaruh
budaya, agama, gaya hidup dan lainnya kepada siapapun dan dimanapun berada.
c. Semakin kuatnya kesadaran akan pluralitas iman dan
budaya yang memungkinkan hidup berdampingan dalam perbedaaan.
4. Untuk menemukan formulasi yang tepat, kita perlu
memperhatikan persoalan-persoalan umum internal pendidikan. Islam yang harus
kita kaji secara filosofis, di antaranya yaitu
a.
Persoalan dikotomi,
b. Tujuan dan fungsi
lembaga pendidikan Islam,
c. Persoalan kurikulum
atau materi.
Demikian makalah ini saya susun sebagai tugas dari mata kuliah
sosiologi pendidikan Islam. Mungkin banyak hal yang belum disajikan pada
makalah ini, oleh karenanya saran, masukan, kritik membangun dari pembaca
sangat kami harapkan, dan bimbingan serta arahan dari Bapak Prof. Dr. Yetty
Sarjono selaku Dosen Pengampu merupakan sesuatu yang akan sangat membantu
menyempurnakan makalah ini. Terimakasih dan semoga Allah melimpahkan hidayah inayahnya
kepada kita semuanya. Amin
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Fatah, Rohadi & Sudarsono, Ilmu dan
Teknologi Dalam Islam, Rineka Cipta, Jakarta.
Arifin, Muzayyin, Kapita Selekta Pendidikan Islam,
Bumi Aksara, Jakarta, 2007.
Azizy, A. Qodri, Melawan Globalisasi,
Reinterpretasi Ajaran Islam, Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2004.
Abdullah Amin, M., Pendidikan Agama Era Multi
Kultural Multi Religius, Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah,
Surakarta.
Hasan, Muhammad Tolhah, Prospek Islam Dalam
Menghadapi Tantangan Zaman, Lantabora Press, Jakarta.
Syafi’i Ma’arif, Ahmad, Pemikiran Tentang
Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Dalam Pendidikan Islam di Indonesia
antara Cita dan Fakta, Editor : Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991,
hal. 150.