Minggu, 29 Juni 2014

Tantangan pendidikan Islam


TANTANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI DUNIA MODERN
ANTARA PELUANG DAN TANTANGAN

I.       PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan kunci kemajuan. Semakin baik kualitas pendidikan suatu bangsa atau masyarakat, maka akan semakin baik pula kualitas kehidupan bangsa / masyarakat tersebut. Fazlurrahman, sebagaimana dikutip oleh Muhaimin menyatakan “Setiap reformasi dan pembaharuan dalam Islam harus dimulai dengan pendidikan”. Ungkapan senada dikemukakan oleh Khursid Ahmad yang menyatakan bahwa : “All of the problem that confront the Muslim world today the educational problem is the problem most challenge”, artinya dari sekian banyak permasalahan yang merupakan tantangan terhadap dunia Islam dewasa ini, maka masalah pendidikan merupakan masalah yang paling menantang. Maka masa depan dunia Islam tergantung kepada cara dunia Islam menjawab dan memecahkan tantangan ini.
Mengingat pendidikan merupakan kebutuhan penting bagi setiap manusia, masyarakat, maupun bangsa, maka pendidikan harus selalu ditumbuhkembangkan secara sistematis dan visioner. Berangkat dari kerangka ini, maka upaya pendidikan yang dilakukan suatu bangsa selalu memiliki hubungan yang signifikan dengan rekayasa bangsa tersebut di masa mendatang, sebab pendidikan selalu dihadapkan pada perubahan, baik perubahan zaman maupun perubahan masyarakat. Oleh karena itu, mau tidak mau pendidikan harus didesain mengikuti irama perubahan tersebut. Pendidikan Islam dihadapkan pada tantangan kehidupan manusia modern. Dengan demikian, pendidikan Islam harus diarahkan pada kebutuhan perubahan masyarakat modern. Untuk itu, pendidikan Islam perlu didesain untuk menjawab tantangan perubahan zaman tersebut, lembaga-lembaga dan organisasinya, serta mengkonstruksi-nya agar dapat relevan dengan perubahan masyarakat.
Secara historis, gagasan pembaruan atau modernisasi pendidikan Islam di Indonesia, diawali dengan munculnya lembaga-lembaga pendidikan yang mengadopsi sistem pendidikan kolonial Belanda dan kehadiran organsiasi-organisasi  modernis Islam seperti Jami’at al-Khair, al-Irsyad, Muhammadiyah dan lain-lain. Hal ini mengandung pengertian bahwa titik tolak modernisasi pendidikan Islam di Indonesia adalah sistem dan kelembagaan pendidikan modern (Belanda), bukan sistem dan lembaga pendidikan Islam tradisional. Namun pada akhirnya kedua model pendidikan Islam tersebut mengalami perubahan dan secara bersama terus saling melengkapi seiring dengan perkembangan.
Pendidikan Islam pada masa kini dihadapkan kepada tantangan yang jauh lebih berat dari tantantan yang dihadapi pada masa permulaan penyebaran Islam. Tantangan tersebut berupa timbulnya aspirasi dan idealitas ummat Islam yang serba kompleks dan multi dimensi setelah mengalami pergeseran nilai akibat kehidupan dan peradaban yang serba modern. Makalah ini berisi paparan dan idealitas penulis tentang formulasi pendidikan Islam dalam kehidupan modern dengan mengkaji secara komprehensif dimensi karakteristik, tantangan dan peluang modernisasi serta implikasinya terhadap Pendidikan Islam.

II.    PEMBAHASAN
A.    Karakteristik Kehidupan Modern
Sebelum membahas tentang karakteristik, penulis terlebih dahulu memaparkan tentang definisi istilah “modern”. Hal ini diperlukan agar memiliki pemahaman dan persepsi yang sama tentang tema yang dibahas. Modernitas berasal dari perkataan “modern” yang berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan masa kini. Lawan dari modern adalah kuno, yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan masa lampau. Jadi, modernitas adalah suatu pandangan dan sikap hidup dalam menghadapi kehidupan masa kini.
Kata “modern” tidaklah muncul sekaligus untuk seluruh atau berbagai bidang kehidupan. Dalam bidang seni kata modern digunakan untuk membadakan sifat seni lukis dan seni pahat yang eksperimental dan dinamis pada abad kedua puluh dengan seni lukis dan seni pahat masa sebelumnya. Di dalam filsafat kata modern itu digunakan untuk menyebutkan periode filsafat setelah abad pertengahan (pertengahan abad ketujuh belas).
Pandangan lainnya menyatakan, bahwa “modern” berarti baru, kekinian, akhir, up-todate, atau semacamnya. Istilah ini berkaitan juga dengan karakteristik. Oleh karena itu, istilah modern bisa diterapkan untuk manusia dan juga untuk lainnya. Predikat modern diberikan terhadap perilaku, model pakaian, musik, hasil teknologi, ataupun pada pemikiran seseorang.
Istilah modern menjadi “modernisasi” memiliki arti tersendiri yaitu suatu proses untuk menjadikan sesuatu itu modern. Tolhah Hasan memberikan definisi modernisasi sebagai suatu proses transformasi masyarakat dalam berbagai aspeknya termasuk di dalamnya sektor ekonomi, politik, sosial dan pendidikan. Nurcholis Madjid, sebagaimana dinyatakan oleh Abdullah Idi Toto Sutarto, mendefinisikan “modernisasi sebagai rasionalisasi untuk memperoleh daya guna yang maksimal dalam berfikir dan bekerja demi kebahagiaan ummat”.
Istilah modern menjadi “modernisasi” memiliki arti tersendiri yaitu suatu proses untuk menjadikan sesuatu itu modern. Tolhah Hasan memberikan definisi modernisasi sebagai suatu proses transformasi masyarakat dalam berbagaia aspeknya termasuk di dalamnya sektor ekonomi, politik, sosial dan pendidikan. Nurcholis Madjid, mendefinisikan “modernisasi sebagai rasionalisasi untuk memperoleh daya guna yang maksimal dalam berfikir dan bekerja demi kebahagiaan ummat”.
Istilah modern juga memiliki arti tersendiri bila dikatakan menjadi “modernisme”. Eugene Lunn sebagaimana yang dikutip oleh Alex Callinicos mendefinisikan modernisasi dengan pemahaman sebagai berikut :
1.      Modernisasi diartikan dengan kesadaran diri yang estetis atau refleksivitas diri.
2.      Modernisasi adalah sesuatu yang simultan.
3.      Modern artinya sesuatu yang paradox, ambiguitas dan ketidaktentuan.
4.      Modernisasi adalah “dehumanisasi dan kematian subjek”.
Bila dikaitkan dengan peradaban, maka modern identik dengan barat, karena peradaban modern terbentuk setelah bangsa-bangsa Eropa melampaui masa abad pertengahan yang dikenal dengan istilah “Renaissanse” yang artinya kelahiran kembali. Banyak pemikir terkenal seperti Gabriel Almond, James Coleman, Karl Deutsch, Mc. T. Kahin, kelompok pluralis dan liberalis, beranggapan bahwa modernisasi identik dengan westernisasi, sekularisasi, demokratisasi, dan liberalisasi. Pengertian tersebut menghasilkan sebuah hipotesis bahwa religiousitas (sikap keberagaman) akan bertentangan dengan modernisasi. Dan mereka mengungkapkan bahwa bangsa-bangsa yang dianggap modern adalah bagian dari tradisi Eropa (termasuk Amerika Serikat).
Beberapa pandangan tentang term “modern” sebagaimana dikemukakan di atas, menunjukkan adanya sebuah reaksi atau upaya perubahan terhadap situasi dan keadaan yang konstant dan berkonotasi ketertinggalan. Term “modern” juga dipergunakan untuk menunjukkan pemikiran, karakter, ideology, seni, politik, dan lainnya yang bernuansa kekinian atau kontemporer.
Dalam konteks sosial, secara umum masyarakat modern adalah masyarakat yang proaktif, individual, dan kompetitif. Masyarakat modern merefresentasikan sebuah gerak pemisahan diri secara radikal dari sifat statis masyarakat tradisional. Masyarakat modern berusaha secara sistematis untuk mengontrol dan mengubah lingkungan fisik mereka, melakukan inovasi dan eksplorasi yang disebarkan melalui pasar dunia yang terus berkembang, yang pada akhirnya melahirkan sebuah proses perubahan yang berlangsung secara cepat.
Salah satu ciri utama kehidupan di masa modern dan masa yang akan datang adalah cepatnya terjadi perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Banyak paradigma yang digunakan untuk menata kehidupan, baik kehidupan individual maupun kehidupan organisasi yang pada waktu yang lalu sudah mapan, kini menjadi ketinggalan zaman. Jika keadaan sekarang ini disebut modern, lalu apakah kita yang hidup saat ini dikategorikan sebagai manusia modern? Menurut Alex Inkeles, guru besar Sosiologi Universitas Harvard, jawabannya bisa ya, bisa juga tidak. Kita memenuhi satu ciri khas dari keterlibatan kita dalam urbanisasi.
Ciri luar itu berkaitan dengan keterlibatan kita dalam urbanisasi, pendidikan, politikus, industrialisasi, dan komunikasi massa. Juga ditandai dengan terlepasnya individu-individu dari jaringan-jaringan keluarga dekat, orang semakin impersonal dalam berhubungan dengan orang lain. Sebagai manusia modern, seseorang harus memenuhi ciri dalam yang berkaitan dengan semangat, cara merasa, cara berpikir dan cara bertindak modern.
Menurut Alex Inkeles paling tidak ada 9 karakter manusia modern, yaitu :
1.      Kesediaannya untuk menerima pengalaman baru dan keterbukaannya bagi penciptaan baru dan perubahan.
2.      Mempunyai tanggapan untuk menyusun atau memiliki pendapat terhadap aneka persoalan yang luas serta terhadap pokok-pokok acara yang terbit tidak saja di lingkungannya yang dekat tetapi juga di luarnya dan tanggapannya kepada lingkungan (pendapat) adalah lebih demokratis. Atau dengan kata lain bahwa semakin berpendidikan seseorang dan semakin maju negaranya, semakin besarlah kesediaan untuk memberikan tanggapan (pendapat) terhadap tantangan itu.
3.      Orang modern tersebut menerima ketentuan waktu, yakni pembagian waktu yang teratur, artinya orang modern menghargai ketepatan waktu, teratur menurut waktu dan terinci dalam menyusun urusan­urusannya.
4.      Manusia modern adalah selalu mengarah kepada ketertiban dalam perencanaan dan organisasi dan percaya terhadapnya sebagai suatu cara untuk menangani kehidupan.
5.      Adanya kepercayaan bahwa manusia bisa bekerja dalam tingkat yang nyata untuk menguasai alam lingkungan demi untuk memajukan tujuan dan sasarannya sendiri daripada sebaliknya, dikuasai sepenuhnya oleh alam lingkungan.
6.      Manusia modern lebih yakin bahwa dunia dapat diperhitungkan. Orang-orang dan lembaga-lembaga dapat dijadikan andalan untuk memenuhi atau mencukup, kewajiban-kewajiban serta tanggung jawabnya.
7.      Seorang yang lebih modern adalah orang yang lebih sadar akan martabat (dignity) orang lain dan lebih tegas menunjukkan penghargaannya terhadap mereka
8.      Orang-orang modern (mereka) lebih yakin kepada ilmu dan teknologi (tetapi tidak terlalu mengkultuskan ilmu dan teknologi tersebut).
9.      Mereka berfaham kuat tentang keadilan yang merata.
Pendapat Alex Inkeles di atas, cukup relevan bila masalah itu dianalisis dan dikaitkan dengan ajaran Islam. Islam memang sangat mencela manusia yang berfikir sempit dan fanatik buta yang akan menjadikannya terisolasi dari kehidupan yang sangat kompleks. Islam menghendaki umatnya tidak berfikir, bersikap, dan bertindak dari hal-­hal yang sifatnya tradisional saja tetapi Islam akan membawa manusia menjadi maju, berfikiran luas, disiplin, dinamis, dan peka terhadap kejadian dalam kehidupan dirinya, lingkungannya, dan masyarakatnya.

B.     Tantangan, Peluang, dan Masalah Yang Timbul
Sebagaimana, dikemukakan di atas bahwa para pemikir barat mempunyai persepsi dan beranggapan bahwa sekularisasi merupakan salah situ ciri utama modernisasi. Agama dengan segala tradisinya adalah suatu rintangan untuk kepentingan modernisasi terutama dalam proses perubahan tatanan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Penggusuran tradisi menjadi masalah yang tidak mungkin dihindari demi tradisi. Michael C. Hudson mengidentifikasi masalah-masalah yang perlu dikaji oleh para ilmuwan Muslim sebagai berikut :
1.         Ide-ide sekuler dan rasionalis telah masuk ke dalam masyarakat Muslim, menggantikan orientasi-orientasi keagamaan.
2.         Memudarnya pengaruh tokoh-tokoh Islam dalam konstalasi politik
3.         Kegagalan para modernis Islam liberal mengakomodasikan Islam dengan ide-ide modernisasi.
4.         Munculnya sifat atavistik (kembali jauh ke belakang) gerakan-gerakan politik Islam fundamentalis.
Dilihat dari aspek pendidikan, para ahli pendidikan Islam telah mengidentiaasi berbagai krisis dan fenomena masyarakat modern di antaranya adalah :
1.      Krisis nilai-nilai
Krisis nilai berkaitan dengan masalah sikap menilai sesuatu perbuatan tentang baik dan buruk, pantas dan tidak pantas, benar dan salah, dan hal lain yang menyangkut prilaku etis individual dan sosial.
2.      Krisis konsep tentang kesepakatan arti hidup yang baik
Masyarakat mulai mengubah pandangan tentang cara hidup bermasyarakat yang baik dalam biding ekonomi, politik, kemasyarakatan, dan implikasinya terhadap kehidupan individual.
3.      Adanya kesenjangan kreadibilitas
Dalam masyarakat modern, dirasakan adanya erosi kepercayaan terhadap orang tua, guru, ulama, rumah ibadah, penegak hukum dan lainnya. Mereka mulai diremehkan orang yang semestinya menaati dan mengikuti petuah-petuahnya.
4.      Kurangnya sikap idealism dan citra remaja kita tentang peranannya di masa datang
5.      Makin membesamya kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin
6.      Makin bergesernya sikap manusia ke arah pragmatisme yang akan mengarah kepada materialisme dan individualisme
7.      Makin menyusutnya jumlah ulama tradisional dan kualitas keilmuan yang dimilikinya.
Victor Franks, salah seorang tokoh  psikologi eksistensial terkemuka, mengatakan bahwa manusia modern mengalami masalah frustrasi eksistensial (Frustrasi dalam pemenuhan keinginan kepada makna) dan kehampaan eksistensial (merasa kehidupan tidak memiliki makna) yang semakin meluas. Menurutnya, individu masyarakat modern dilanda keraguan atas makna kehidupan yang mereka jalani. Hilangya tradisi dan nilai-nilai sebagai salah satu sumber utama kemunculan frustrasi eksistensial dan kehampaan eksistensial. Akibat dari hal itu, individu melakukan kompensasi-kompensasi melalui berbagai aktivitas seperti membenamkan diri dalam pekerjaan, berjudi, alkoholisme, obat bius,dan seks.
Berbagai tantangan dan masalah sebagaimana dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa modernisasi melahirkan berbagai fenomena masyarakat yang kompleks baik dalam bidang ekonomi, politik, budaya, pendidikan, kemasyarakatan, ideologi, dan lain sebagainya. Hal ini tentu saja harus kita hadapi dan carikan. solusi yang bersifat prepentif, antisipatif, dan penanganan secara integral dan konperhensif dengan mengembalikan kepada inti ajaran Islam yang "kaffah" dan rahmatan lil `alamin.
Mencermati fenomena peradaban modern yang dikemukakan di atas, kita harus bersikap arif dalam merespons fenomena-fenomena tersebut. Dalam arti, jangan melihat peradaban modern dari sisi unsur negatifnya saja, tetapi perlu juga merespons unsur-unsur positifnya yang banyak memberikan manfaat dan mempengaruhi kehidupan manusia. Maka, yang perlu diatur adalah produk peradaban modern jangan sampai memperbudak manusia atau manusia menghambakan produk tersebut, tetapi manusia harus menjadi tuan, mengatur, dan memanfaatkan produk peradaban modern tersebut secara maksimal.
C.    Reformulasi Pendidikan Islam di Era Modern
Seorang Muslim yang memahami karakteristik kehidupan modern diharapkan dapat melaksanakan ajaran agamanya tanpa dihantui rasa cemas, takut, gusar, gelisah atau perasaan bersalah sehingga tidak memunculkan sikap futidamentalis eksklusif. Modernitas tidak perlu dihindari karena pada dasarnya tidak bisa dipungkiri bahwa modernisasi memiliki peluang sekaligus tantangan sebagai berikut
1.      Keberhasilan upaya manusia menaikkan secara relative taraf kemampuan eknomi masyarakat.
2.      Kemudahan memperoleh akses informasi. Saling keterhubungan antara 3 T (telekomunikasi, komunikasi, dan teknologi) mempercepat daya jangkau dan daya tembus pengaruh budaya, agama, gaya hidup dan lainnya kepada siapapun dan dimanapun berada.
3.      Semakin kuatnya kesadaran akan pluralitas iman dan budaya yang memungkinkan hidup berdampingan dalam perbedaaan.
Dalam konteks pendidikan Islam, kita perlu melakukan studi perbandingan bahwa pendidikan tradisional (konsep lama) sangat menekankan pentingnya penguasaan bahan pelajaran. Menurut konsep ini rasio ingatanlah yang memegang peranan penting dalam proses belajar di sekolah. Pendidikan tradisional telah menjadi sistem yang dominan di tingkat pendidikan dasar dan menengah sejak paruh kedua abak ke-19, dan mewakili puncak pencarian elektik atas ‘satu sistem terbaik'.
Ciri pendidikan tradisional menurut Vernon Smith adalah (1) anak-anak biasanya dikirim ke sekolah di dalam wilayah geografis distrik tertentu, (2) mereka kemudian dimasukkan ke kelas-kelas yang biasanya dibeda-bedakan berdasarkan umur, (3) anak-anak masuk sekolah di tiap tingkat menurut berapa usia mereka pada waktu itu, (4) mereka naik kelas setiap habis satu tahun ajaran), (5) prinsip sekolah otoritarian, anak-anak diharap menyesuaikan diri dengan tolok ukur perilaku yang sudah ada, (6) guru memikul tanggung jawab pengajaran, berpegang pada kurikulum yang sudah ditetapkan, (7) sebagian besar pelajaran diarahkan oleh guru dan berorientasi pada teks, (8) promosi tergantung pada penilaian guru, (9) kwikulum berpusat pada subjek pendidik, (10) bahan ajar yang paling umum tertera dalam kurikulum adalah buku-buku teks. Lebih lanjut menurut Vernon Smith, pendidikan tradisional didasarkan pada beberapa asumsi yang umumnya diterima orang meski tidak dimoderni bukti keandalan atau kesahihan, Umpamanya: 1). ada suatu kumpulan pengetahuan dan keterampilan penting tertentu yang musti dipelajari anak-anak; 2). tempat terbaik bagi sebagian besar anak untuk mempelajari unsur-unsur ini adalah sekolah formal, dan 3). cara terbaik supaya anak­-anak bisa belajar adalah mengelompokkan mereka dalam kelas-kelas yang ditetapkan berdasarkan usia mereka.
Ciri yang dikemukakan Vernon Smith ini juga dialami oleh pendidikan Islam di Indonesia sampai dekade irti. Misalnya : Sebagian Pesantren, Madrasah, dan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang lain masih menganut sistem lama, kurikulum ditetapkan merupakan paket yang harus diselesaikan, kurikulum dibuat tanpa atau sedikit sekali memperhatikan konteks atau relevansi dengan kondisi sosial masyarakat bahkan sedikit sekali memperhatikan dan mengantisipasi perubahan zaman, sistem pembelajaran berorientasi atau berpusat pada guru. Paradigma pendidikan tradisional bukan merupakan sesuatu yang salah atau kurang baik, tetapi model pendidikan yang berkembang dan sesuai dengan zamannya, tentu juga memiliki kelebihan dan kelemahan dalam memberdayakan manusia, apabila dipandang dari era modern ini.
Konsep pendidikan modern (konsep Baru), yaitu : pendidikan menyentuh setiap aspek kehidupan pemodern didik, pendidikan merupakan proses belajar yang terus menerus, pendidikan dipengaruhi oleh kondisi­kondisi dan pengalaman, baik di dalam maupun di luar situasi sekolah, pendidikan dipersyarati oleh kemampuan dan minat pemodern didik, juga tepat tidaknya situasi belajar dan efektif tidaknya cara mengajar. Melihat perbandingan kedua tipe di atas, nampak bahwa perubahan terjadi hampir di semua aspek pembelajaran. Oleh karenanya, reformulasi pendidikan Islam           merupakan       hal       sangat  penting. M. An-in Abdullah yang mengajukan beberapa alternatif formulasi pendidikan Islam yang dapat diterapkan, di antaranya :
a.       Memperkenalkan kepada para siswa persoalan-persoalan modernitas yang dihadapi tunas Islam saat ini dan mengajarkan pendekatan keilmuan sosial keagamaan yang saat ini berkembang
b.      Pembelajaran ilmu-ilmu keislaman tidak selalu bersifat doktrinal, melainkan disampaikan melalui pendekatan sejarah dari doktrin-doktrin tersebut sehingga memunculkan tela'ah kritis yang apresiatif konstruktif terhadap khazanah intelektual klasik sekaligus melatih merumuskan ulang pokok-pokok rumusan realisasi doktrin agama yang sesuai dengan tantangan dan tuntutan zaman
c.       Pembelajaran yang bertumpu pada teks (nash) perlu diimbangi dengan analisa yang mendalam dan cerdas terhadap konteks dan realitasnya.
d.      Pengajaran tasawuf atau pengembangan kecerdasan emosional dan spiritual sangat diperlukan dan pelaksanaan, pendidikan Islam tidak terlalu menekankan pada aspek kognitif siswa (intelektual)
e.       Pendidikan agama Islam tidak hanya diarahkan kepada pembentukan "kesalehan individual" tetapi juga mengembangkan pembentukan "kesalehan sosial".
Pendapat Amin Abdullah di atas mewakili berbagai pandangan pembaruan pendidikan Islam dapat diimplementasikan pada aspek materi sehingga para pendidik diharapkan menyusun rencana pembelajaran dengan memperhatikan formula di atas. Namun demikian tentu saja belum cukup. Reiformulasi pendidikan Islam harus menyentuh pula aspek. filosofis dan metodologis. Pendidikan Islam perlu menghadirkan suatu konstruksi wacana pada dataran filosofis, wacana metodologis, dan juga cara menyampaikan atau mengkomunikasikannya.
Untuk menemukan formulasi yang tepat, kita perlu memperhatikan persoalan-persoalan umum internal pendidikan Islam yang harus kita kaji secara filosofis, di antaranya yaitu
a.       Persoalan dikotomi,
b.      Tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam,
c.       Persoalan kurikulum atau materi.
Mengenai persoalan dikotomi, Fazlur Rahman, menawarkan suatu pendekatan yang dapat dilakukan yaitu dengan menerima pendidikan sekuler modern sebagaimana telah berkembang pada umumnya di dunia Barat dan mencoba untuk "mengislamkan"nya - yakni mengisinya dengan konsep-konsep kunci tertentu dari Islam. Pandangan lain dikemukan oleh A.Syafi'i Ma'arif yang mengatakan bila konsep dualisme dikotomik berhasil ditumbangkan, maka dalam Jangka panjang sistem pendidikan Islam juga akan berubah secara keseluruhan, mulai dari tingkat dasar sampai ke perguruan tinggi. Untuk kasus Indonesia, IAIN misalnya akan lebur secara integratif dengan perguruan-perguruan tinggi negeri lainnya. Peleburan bukan dalam bentuk satu atap saja, tetapi lebur berdasarkan rumusan filosofis. Dengan melihat peta konsep sebagaimana dikemukakan di atas, maka pendapat Hujair AH. Sangat patut kita fikirkan. Menurutnya ada tiga langkah yang harus dilakukan untuk memformulasikan kembali pendidikan Islam sebagaimana mestinya, yaitu :
1.      Lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu mendesain ulang fungsi pendidikannya, dengan memilih apakah :
a.       Model pendidikan yang mengkhususkan diri pada pendidikan keagamaan saja sudah sesuai dengan perubahan zaman,
b.      Model kurikulumnya sudah integratif antara materi-materi pendidikan umum dan agama,
c.       Model pendidikan sekuler modern dan mengisinya dengan konsep-konsep Islam,
d.      Menolak apapun produk pendidikan barat,
e.       Pendidikan agama tidak dilaksanakan di sekolah-sekolah tetapi dilaksanakan di luar sekolah.
2.      Pendidikan harus diarahkan pada dua dimensi, yakni
a.         Dimensi dialektika (horisontal), pendidikan hendaknya dapat mengembangkan pemahaman tentang kehidupan manusia dalam hubungannya dengan alam atau lingkungan sosialnya. Manusia harus mampu mengatasi tantangan dan kendala dunia sekitarnya melalui pengembangan Iptek, dan
b.         Dimensi ketundukan vertikal, pendidikan selain menjadi alas untuk memantapkan, memelihara sumber daya alami, juga menjembatani dalam memahami fenomena dan misteri kehidupan yang abadi dengan maha pencipta. Berarti pendidikan harus dimoderni dengan pendekatan hati.

III. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, penulis dapat menyimpulkannya sebagai berikut:
1. Salah satu ciri utama kehidupan di masa modern dan masa yang akan datang adalah cepatnya terjadi perubahan yang terjadi dalam kehidupan manusia. Banyak paradigma yang digunakan untuk menata kehidupan, baik kehidupan individual maupun kehidupan organisasi yang pada waktu yang lalu sudah mapan, kini menjadi ketinggalan zaman.
2. Dilihat dari aspek pendidikan, para ahli pendidikan. Islam telah mengidentifikasi berbagai krisis dan fenomena masyarakat modern di antaranya adalah:
a.    Krisis nilai-nilai.
b.    Krisis konsep tentang, kesepakatan arti hidup yang baik
c.    Adanya kesenjangan kreadibilitas
d.    Kurangnya sikap idealis dan citra remaja kita tentang peranannya di masa datang
e.    Makin membesarnya kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin
f.     Makin bergesernya sikap manusia ke arah pragmatism yang akan mengarah kepada materialisme dan individualisme
g.    Makin menyusutnya jumlah ulama tradisional dan kualitas keilmuan yang dimilikinya.
3.   Modernisasi tidak perlu dihindari karena pada dasarnya tidak, bisa dipungkiri bahwa modernisasi memiliki peluang sekaligus tantangan sebagai berikut :
a.  Keberhasilan upaya manusia menaikkan secara relative taraf kemampuan ekonomi masyarakat.
b.  Kemudahan memperoleh akses informasi. Saling keterhubungan antara 3 T (telekomunikasi, komunikasi, dan teknologi) mempercepat daya jangkau dan daya tembus pengaruh budaya, agama, gaya hidup dan lainnya kepada siapapun dan dimanapun berada.
c.  Semakin kuatnya kesadaran akan pluralitas iman dan budaya yang memungkinkan hidup berdampingan dalam perbedaaan.
4. Untuk menemukan formulasi yang tepat, kita perlu memperhatikan persoalan-persoalan umum internal pendidikan. Islam yang harus kita kaji secara filosofis, di antaranya yaitu
a.       Persoalan dikotomi,
b.      Tujuan dan fungsi lembaga pendidikan Islam,
c.       Persoalan kurikulum atau materi.
Demikian makalah ini saya susun sebagai tugas dari mata kuliah sosiologi pendidikan Islam. Mungkin banyak hal yang belum disajikan pada makalah ini, oleh karenanya saran, masukan, kritik membangun dari pembaca sangat kami harapkan, dan bimbingan serta arahan dari Bapak Prof. Dr. Yetty Sarjono selaku Dosen Pengampu merupakan sesuatu yang akan sangat membantu menyempurnakan makalah ini. Terimakasih dan semoga Allah melimpahkan hidayah inayahnya kepada kita semuanya. Amin


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Fatah, Rohadi & Sudarsono, Ilmu dan Teknologi Dalam Islam, Rineka Cipta, Jakarta.
Arifin, Muzayyin, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2007.
Azizy, A. Qodri, Melawan Globalisasi, Reinterpretasi Ajaran Islam, Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
Abdullah Amin, M., Pendidikan Agama Era Multi Kultural Multi Religius, Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP) Muhammadiyah, Surakarta.
Hasan, Muhammad Tolhah, Prospek Islam Dalam Menghadapi Tantangan Zaman, Lantabora Press, Jakarta.
Syafi’i Ma’arif, Ahmad, Pemikiran Tentang Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Dalam Pendidikan Islam di Indonesia antara Cita dan Fakta, Editor : Muslih Usa, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1991, hal. 150.

Assesmen dan evaluasi


ASESMEN DAN EVALUASI

A.    Definisi Asesmen dan Evaluasi
      Penilaian (assessment) memiliki makna yang berbeda dengan evaluasi. The Task Group  on  Assessment  and  Testing  (TGAT)  mendeskripsikan  asesmen  sebagai  semua cara yang digunakan untuk menilai unjuk kerja individu atau kelompok (Griffin & Nix, 1991: 3). Popham (1995: 3) mendefinisikan asesmen dalam konteks pendidikan sebagai sebuah usaha secara formal untuk menentukan status siswa berkenaan dengan berbagai kepentingan  pendidikan. Boyer  &  Ewel  mendefinisikan  asesmen  sebagai  proses  yang menyediakan  informasi  tentang  individu  siswa,  tentang  kurikulum  atau  program, tentang institusi atau segala sesuatu yang berkaitan dengan sistem institusi.  Menurut Suharsimi yang dikutip oleh Sridadi(2007) penilaian adalah suatu usaha yang dilakukan dalam pengambilan keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik-buruk bersifat kualitatif. Berdasarkan berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa assessment atau penilaian dapat diartikan sebagai kegiatan menafsirkan data hasil pengukuran.
      Evaluasi menurut Griffin & Nix (1991) adalah judgment terhadap nilai atau implikasi dari hasil pengukuran. Menurut definisi ini kegiatan evaluasi selalu didahului dengan kegiatan pengukuran dan penilaian. Menurut Tyler (1950), evaluasi adalah proses penentuan sejauh mana tujuan pendidikan telah tercapai. Masih banyak definisi tentang evaluasi, namun semuanya selalu memuat masalah informasi dan kebijakan, yaitu informasi tentang pelaksanaan dan keberhasilan suatu program yang selanjutnya digunakan untuk menentukan kebijakan selanjutnya.
      Evaluasi dilakukan terhadap suatu program, misalnya program peningkatan mutu pendidikan. Ditinjau dari cakupannnya, evaluasi ada yang bersifat makro dan yang mikro. Evaluasi yang bersifat makro sasarannya adalah program pendidikan, sedangkan evaluasi mikro sering digunakan ditingkat kelas, khususnya untuk mengetahui pencapaian belajar peserta didik. Sasaran evaluasi mikro adalah program pembelajaran dikelas dan yang menjadi penanggungjawabnya adalah pendidik. Evaluasi pembelajaran dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu formatif dan sumatif. Evaluasi formatif bertujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran sedangkan evaluasi sumatif bertujuan untuk menetapkan tingkat keberhasilan peserta didik.
      Evaluasi secara singkat juga dapat didefinisikan sebagai proses mengumpulkan informasi untuk menentukan pencapaian belajar kelas atau kelompok. Fokus evaluasi adalah kelas, sehingga dampaknya adalah pada kelas. Hasil evaluasi dapat digunakan untuk mendorong pendidik untuk mengajar lebih baik dan mendorong peserta didik untuk belajar lebh baik. Evaluasi memberikan informasi bagi kelas dan pendidik untuk meningkatkan kualitas proses belajar mengajar.
        Dapat disimpulkan Penilaian adalah penafsiran hasil pengukuran dan penentuan pencapaian hasil belajar. Penilaian ini merupakan proses sistematis meliputi pengumpulan informasi, analisis, interpretasi, informasi untuk membuat keputusan. Sedangkan evaluasi merupakan kegiatan pengumpulan kenyataan mengenai proses pembelajaran secara sistematis untuk menetapkan apakah terjadi perubahan terhadap peserta didik dan sejauh apakah perubahan tersebut mempengaruhi kehidupan peserta didik. Ada yang mengatakan asesmen berfokus pada individu sedang evaluasi berfokus pada kelompok atau kelas.

B.     Pentingnya Asesmen dan Evaluasi      
       Usaha peningkatan kualitas pendidikan harus dilakukan secara sistematik dan sistemik. Sistematik dalam makna bahwa usaha peningkatan kualitas pendidikan harus dilakukan melalui prosedur tertetu, sedangkan sistemik usaha peningkatan mutu memperhatikan semua ubahan yang terkait. Salah satu usaha yang perlu dilakukan adalah memotret keadaan pendidikan saat ini. Pemotretan dilakukan melalui kegiatan pengukuran , asesmen dan evaluasi. Hasil pemotretan ini digunakan untuk menentukan program perbaikan yang akan datang.
       Penilaian atau asesmen merupakan komponen penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Upaya meningkatkan kualitas pendidikan dapat ditempuh melalui peningkatan kualitas pembelajaran dan kualitas system penilaiannya. Keduanya saling terkait, system penilaian yang baik akan menghasilakan kualitas belajar yang baik. Kualitas pembelajaran ini dilihat dari hasil penilainnya. Selanjutnya system penilaian yang baik akan mendorong pendidik untuk menentukan strategi mengajar yang baik dan memotivasi peserta didik untuk belajar lebih baik. Oleh karena itu dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan diperlukan perbaikan system penilaian.
       Evaluasi merupakan salah satu rangkaian kegiatan dalam meningkatkan kualitas, kinerja, atau produktivitas suatu lembaga pendidikan dalam melaksanakan programnya. Melalui evaluasi akan diperoleh informasi tentang apa yang telah dicapai dan mana yang belum, dan selanjutnya informasi ini digunakan untuk perbaikan suatu program. Dalam sebuah proses pembelajaran komponen yang turut menentukan keberhasilan sebuah proses adalah evaluasi. Melalui evaluasi orang akan mengetahui sampai sejauh mana penyampaian pembelajaran atau tujuan pendidikan atau sebuah program dapat dicapai sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Evaluasi merupakan salah satu kegiatan utama yang harus dilakukan dalam kegiatan pendidikan dan pembelajaran. Melalui Evaluasi, kita akan mengetahui perkembangan hasil belajar, intelegensi, bakat khusus, minat, hubungan social, sikap dan kepribadian siswa atau peserta didik serta keberhasilan sebuah program.
       Kegiatan evaluasi merupakan informasi yang diperoleh dari hasil asesmen. Asesmen merupakan kegiatan menafsirkan data hasil pengukuran, yaitu data yang bersifat kuantitatif. Asesmen merupakan bagian dari kegiatan pembelajaran baik dikelas maupun di luar kelas. Pembelajaran pada dasarnya adalah kegiatan melakukan perubahan pada peserta didik, sehingga hasilnya harus diketahui. Untuk mengetahui besar dan kualitas perubahan, dilakukan asesmen. Jadi asesmen merupakan hal yang penting dalam melaksanakan proses pembelajaran. 

C.    Efek Asesmen Pada Motivasi Belajar Siswa
       Asesmen merupakan bagian dari kegiatan pembelajaran peserta didik disatuan pendidikan . Peranan asesmen menurut Harlen, Gipss, Broadfoot & Nutnall ( Pollard, edited, 2011 : 2083) adalah sebagai umpan balik bagi pendidik dan peserta didik akan kemajuan belajar  yang dicapai. Umpan balik ini mempengaruhi secara langsung terhadap kualitas pengalaman belajar peserta didik, apabila peserta didik memanfaatkan umpan balik tersebut untuk perbaikan dalam menentukan strategi pembelajaran peserta didik. Asesmen yang bertujuan memperbaiki proses pembelajaran disebut sebagai asesmen formatif atau assessment for learning. Hal ini ditegaskan pada undang-undang No 20 tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 58 ayat (1) : Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh peserta didik secara berkesinambungan. Asesmen formatif ini dilakukan pendidik secara kontinu di kelas dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
       Peranan asesmen yang kedua adalah untuk mengetahui performance peserta didik sebagai individu. Asesmen ini menurut Harlen, Gipss, Broadfoot & Nutnall (Pollard, edited, 2011 : 285) tidak banyak pengaruhnya terhadap perbaikan pembelajaran pada peserta didik, karena dilakukan di akhir tahun belajar satuan pendidikan, namun apabila hasil asesmen dianalisis digunakan untuk perbaiakan proses pembelajaran pada tahun berikutnya, maka asesmen sumatif ini memiliki pengaruh terhadap kualitas pendidikan.
        Dampak hasil asesmen terhadap motivasi belajar peserta didik bervareasi ada yang meningkat, tetap, bahkan ada yang turun. Tiap peserta didik memiliki harapan terhadap hasil ulangan suatu pelajaran, yaitu tingkat prestasi yang dinyatakan dalam skor hasil tes. Harapan ini ada yang terpenuhi dan ada yang tidak terpenuhi. Sesuai dengan karakteristik peserta didik, ada yang motivasi belajarnya naik, ada yang tetap, dan  kemungkinan ada yang turun. Dalam hal ini pendidik harus mampu membuat dampak asesmen yang positif, yaitu meningkatkan motivasi belajar bagi peserta didik, dan motivasi mengajar bagi pendidik.  

D.    Tes
1.      Pengertian tes
      Tes merupakan salah satu bentuk instrument yang digunakan untuk melakukan pengukuran. Tes terdiri atas sejumlah pertanyaan yang memiliki jawaban benar atau salah, atau semua benar atau sebagian benar. Tujuan melakukan tes adalah untuk mengetahui pencapaian belajar atau kompetensi yang telah dicapai peserta didik untuk bidang tertentu. Hasil tes merupakan informasi tentang karakteristik seseorang atau sekelompok orang. Karakteristik ini bisa berupa kemampuan kognitif atau keterampilan seseorang.

2.      Bentuk Tes
       Bentuk tes yang digunakan di satuan pendidikan dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu tes obyektif dan tes non obyektif. Tes nonobyektif juga sering disebut dengan tes bentuk esai atau uraian. Obyektif disini dilihat dari cara penskorannya, siapa saja yang memeriksa lembar jawaban akan menghasilkan skor yang sama. Tes yang nonobyektif adalah cara penskorannnya dipengaruhi oleh pemberi skor. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tes yang obyektif adalah yang system penskorannya obyektif, sedangkan tes yang nonobyektif system penskorannya dipengaruhi subyektifitas pemberi skor.
      Bentuk tes obyektif yang sering digunakan adalah bentuk pilihan ganda, benar salah, menjodohkan, dan uraian obyektif. Tes uraian dapat dibedakan uraian obyrktif dan uraian nonobyektif. Tes uraian yang obyektif sering digunakan pada bidang sains dan teknologi atau bidang social yang jawabannya sudah pasti, dan hanya satu jawaban yang benar. Tes uraian non obyektif sering digunakan pada bidang ilmu-ilmu social, yaitu yang jawabannya luas dan tidak hanya satu jawaban yang benar, tergantung argumentasi peserta tes.



3.      Teknik Penyusunan Tes
       Ada delapan langkah yang harus ditempuh dalam menyusun tes hasil atau prestasi belajar yang baku seperti berikut ini :
a.       Menyusun spesifikasi tes
Prosedur penyusunan spesifikasi tes meliputi : menentukan tujuan  tes, menyusun kisi-kisi tes, menentukan bentuk tes, dan menentukan panjang tes.
b.      Menulis Tes
Bentuk tas meliputi : tes lisan dikelas, tes benar salah, menjodohkan, pilihan ganda, uraian obyektif, uraian nonobyektif, jawaban singkat, unjuk kerja, atau portofolio.
c.       Mentelaah soal tes
Kriteria telah butir tes mengikuti pedoman penyusunan tes. Telaah dilakukan terhadap kebenaran konsep, teknik penulisan, dan bahasa yang digunakan.
d.      Melakukan uji coba tes
Uji coba dapat digunakan sebagai sarana memperolah data empirik tentang tingkat kebaikan soal yang telah disusun. Dapat diperoleh tentang reliabilitas, validitas, tingkat kesukaran, pola jawaban, efektivitas pengecoh, daya beda, dll.
e.       Menganalisis butir tes
Melalui analisis butir soal dapat diketahui tingkat kesukaran butir soal, daya beda, dan juga efektifitas pengecoh.
f.       Memperbaiki tes
Memperbaiki butir-butir soal yang ternyata belum baik.
g.      Merakit tes
Setelah semua butir soal dianalisis dan diperbaiki, langkah berikutnya merakit butir-butir soal menjadi satu kesatuan tes.
h.      Melaksanakan tes
Setelah langkah menyusun tes selesai dan telah direvisi pasca uji coba, langkah selanjutnya adalah melaksanakan tes.
i.        Menafsirkan hasil tes
Hasil tes menghasilkan data kuantitatif ynag berupa skor. Skor ini kemudian ditafsirkan sehingga menjadi nilai, yaitu rendah, menengah, atau tinggi.

4.      Pengembangan instrument unjuk kerja
Pengembangan instrument unjuk kerja dilakukan melalui analisis pekerjaan atau analisis jabatan.
DAFTAR RUJUKAN

Djemari Mardapi, Ph.D, 2012, Pengukuran Penilaian dan Evaluasi Pendidikan, Nuha Medika, Yogyakarta.